FENOMENA GEOSFER

Never put till tomorrow what you can do to day

Pembahasan 11/12/2009

Kota Surabaya adalah ibukota Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Surabaya merupakan kota terbesar kedua di Indonesia setelah Jakarta. Dengan jumlah penduduk metropolisnya yang mencapai 3 juta jiwa, Surabaya merupakan pusat bisnis, perdagangan, industri, dan pendidikan. Surabaya terkenal dengan sebutan Kota Pahlawan karena sejarahnya yang sangat diperhitungkan dalam perjuangan merebut kemerdekaan bangsa Indonesia dari penjajah. Surabaya terletak di tepi pantai utara provinsi Jawa Timur. Batas-batas wilayahnya antara lain:

Surabaya berada pada dataran rendah,ketinggian antara 3 – 6 m di atas permukaan laut kecuali di bagian Selatan terdapat 2 bukit landai yaitu di daerah Lidah dan Gayungan ketinggiannya antara 25 – 50 m diatas permukaan laut dan di bagian barat sedikit bergelombang. Surabaya terdapat muara Kali Mas, yakni satu dari dua pecahan Sungai Brantas. Luas wilayah kota surabaya adalah 374,36 km2.

v     Kebijakan Strategis Pengendalian Konversi Lahan Pertanian

Proses konversi lahan pertanian pada umumnya berlangsung melalui dua tahapan yaitu:

(1)  Pelepasan hak pemilikan lahan petani kepada nonpetani

(2)  Pemanfaatan lahan pertanian tersebut untuk kegiatan di luar pertanian.

Dampak konversi lahan yang berupa penurunan kapasitas produksi pertanian, penurunan daya serap tenaga kerja pertanian, hilangnya investasi pertanian dan meningkatnya masalah sosial dan lingkungan pada dasarnya baru terjadi pada tahap kedua. Namun tahap kedua tersebut tidak akan terjadi tanpa melalui tahap pertama karena sebagian besar lahan pertanian dimiliki oleh petani. Oleh karena itu penanganan masalah konversi lahan pertanian sebenarnya dapat ditempuh melalui tiga pendekatan yaitu:

(1) Mengendalikan pelepasan hak pemilikan lahan petani kepada nonpetani

(2) Mencegah alih fungsi lahan

(3) Menanggulangi dampak negatif yang ditimbulkan oleh konversi lahan

Masing-masing pendekatan tersebut memerlukan instrumen kebijakan yang berbeda. Jika penjualan lahan petani merupakan suatu proses rasional yang mengacu pada prinsip ekonomi maka pemberian insentif ekonomi kepada petani merupakan salah satu cara yang dapat ditempuh untuk mencegah penjualan lahan petani. Namun cara ini membutuhkan dukungan dana yang sangat besar akibat rente ekonomi lahan pertanian yang sangat rendah dibandingkan pemanfaatan lahan untuk sektor ekonomi lainnya. Selain itu, asumsi bahwa transaksi lahan petani kepada investor disebabkan oleh dorongan ekonomi petani tidak selamanya benar karena pada kasus konversi lahan secara masal peranan birokrasi justru seringkali lebih dominan, sehingga petani terkondisikan untuk menjual lahannya (Rusastra dan Budhi, 1997).

Bagi petani sendiri penjualan lahan yang mereka miliki sebenarnya tidak menguntungkan secara sosial, karena di daerah pedesaan pemilikan lahan merupakan salah satu simbol sosial (Witjaksono, 1996). Sementara penelitian Jamal (1999) mengungkapkan bahwa sebagian besar petani yang menjual lahannya untuk dikonversi sebenarnya tidak menghendaki penjualan lahan tersebut. Penyebab utamanya adalah penjualan lahan tersebut tidak selalu menguntungkan dalam jangka panjang karena untuk beralih kepada kegiatan ekonomi yang baru dibutuhkan waktu penyesuaian, sementara fleksibilitas petani untuk menggeluti bidang usaha yang baru secara umum terbatas. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pemberian insentif ekonomi kepada petani belum tentu efektif untuk mencegah penjualan lahan petani karena proses transaksi lahan tersebut tidak merupakan fenomena ekonomi secara murni atau terjadi melalui mekanisme pasar.

Pendekatan kedua dapat dilakukan dengan menghambat dan mencegah alih fungsi lahan pertanian ke nonpertanian. Gagasan penetapan lahan pertanian abadi termasuk dalam kategori ini. Kebijakan seperti ini jelas termasuk kategori melawan pasar lahan.

Pada pendekatan ketiga, dampak negatif konversi lahan diatasi dengan mengembangkan kegiatan-kegiatan lain yang mampu mengkompensasikan peluang-peluang yang hilang akibat konversi lahan. Pencetakan sawah baru dan pembangunan jaringan irigasi adalah contoh dari penerapan pendekatan tersebut. Dengan kedua cara tersebut maka dampak konversi lahan terhadap masalah pangan nasional memang dapat ditanggulangi. Namun cara ini pada akhirnya tetap akan dibatasi oleh sumber daya lahan yang tersedia dan membutuhkan dukungan dana yang besar. Selain itu, pendekatan ini tidak mampu mengatasi masalah sosial dan lingkungan yang terjadi di lokasi atau di daerah yang mengalami konversi lahan karena pencetakan sawah atau pembangunan jaringan irigasi yang ditempuh biasanya bukan dilakukan di daerah yang mengalami konversi lahan, tetapi di daerah lain yang sumber daya lahannya masih tersedia. Fenomena demikian terjadi karena konversi lahan pertanian umumnya terjadi di daerah dengan kelangkaan lahan tinggi sehingga peluang pembukaan sawah baru atau pembangunan jaringan irigasi sangat terbatas. Pada masa pemerintahan otonomi dimana egoisme daerah semakin kental, pendekatan demikian mungkin akan semakin sulit diterapkan jika dana pembangunan yang dibutuhkan diserahkan kepada masing-masing daerah.

Pencegahan dan penanggulangan dampak konversi lahan sebenarnya sudah dilakukan pemerintah. Untuk menanggulangi dampak terhadap pengadaan pangan maka konversi lahan sawah yang tinggi di Jawa diatasi dengan pembangunan sawah baru di luar Jawa. Cara tersebut memang telah meningkatkan luas sawah secara kuantitas namun tidak demikian secara kualitas karena kondisi biofisik lahan di luar Jawa lebih rendah dibandingkan di Jawa. Salah satu konsekuensinya adalah dampak pembangunan lahan sawah di luar Jawa tidak begitu signifikan terhadap peningkatan produksi pangan dan pulau Jawa masih tetap menjadi pemasok pangan utama dengan pangsa lebih dari 55% produksi pangan nasional.

Untuk mencegah dan mengendalikan kegiatan konversi lahan pertanian, sejauh ini pemerintah lebih terfokus pada pendekatan hukum yaitu dengan membuat peraturan dan perundang-undangan yang bersifat melarang konversi lahan pertanian, khususnya lahan sawah beririgasi teknis. Dalam pelaksanaannya terdapat dua jenis acuan instrumen hukum yang digunakan yaitu:

(1)  RUTRW yang mengatur lokasi kegiatan pembangunan termasuk lahan pertanian yang dapat dikonversi ke penggunaan di luar pertanian

(2) Peraturan-peraturan yang mengatur prosedur pelaksanaan konversi lahan pertanian.

Selama ini sudah cukup banyak peraturan pemerintah yang berkaitan dengan konversi lahan pertanian tersebut (Lampiran 1). Peraturan-peraturan tersebut dalam batas tertentu mungkin berhasil memperlambat proses konversi lahan tetapi tidak memberikan solusi yang utuh bagi berbagai pihak yang berkepentingan dengan pemanfaatan lahan. Kondisi demikian menyebabkan pihak-pihak lain yang berkepentingan dengan pemanfaatan lahan pertanian yang tersedia, misalnya para pengembang perumahan dan industri, cenderung mencari celah-celah hukum yang ada agar mereka tetap dapat melakukan konversi lahan yang mereka inginkan tanpa melanggar peraturan yang berlaku.

Pengalaman menunjukkan bahwa kedua instrumen yang digunakan dalam mengatur pemanfaatan lahan terkesan kurang efektif dalam mengendalikan konversi lahan. Keterbatasan transparansi merupakan kelemahan utama yang melekat pada pengaturan lokasi kegiatan pembangunan (RUTRW) sehingga kontrol masyarakat tidak dapat berlangsung secara efektif. Sedangkan peraturan yang mengatur konversi lahan pertanian memiliki berbagai kelemahan yang dapat diuraikan sebagai berikut:

  1. Obyek lahan pertanian yang dilindungi dari proses konversi ditetapkan berdasarkan kondisi fisik lahan, padahal kondisi fisik lahan relatif mudah direkayasa sehingga konversi lahan dapat berlangsung tanpa melanggar peraturan yang berlaku.
  2. Peraturan yang berlaku secara umum lebih bersifat himbauan dan tidak dilengkapi dengan sangsi yang jelas, baik yang menyangkut besarnya sangsi maupun pihak yang dikenai sangsi.
  3. Jika terjadi konversi lahan pertanian yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku maka sulit ditelusuri pihak manakah yang paling bertanggungjawab mengingat pemberian ijin konversi lahan pada dasarnya merupakan keputusan kolektif dari berbagai instansi pemerintah yang terkait dengan pemanfaatan lahan.
  4. Peraturan dan perundangan yang berlaku kadangkala bersifat paradoksal dan dualistik. Misalnya, di satu sisi peraturan hendak melindungi alih fungsi lahan sawah di sisi lain pemerintah mendorong pertumbuhan industri yang membutuhkan lahan sebagai basis kegiatannya. Di daerah yang lahan keringnya sangat terbatas seperti di jalur pantura maka kebijakan tersebut pasti akan menimbulkan konversi lahan sawah.
  5. Peraturan yang diterbitkan oleh berbagai instansi yang berbeda seringkali tidak sinkron satu dengan lainnya dalam kerangka pengendalian konversi lahan pertanian produktif. Peraturan-perturan tersebut kadangkala bermakna implisit sehingga dapat menimbulkan kerancuan interpretasi. Misalnya, Surat Edaran Menteri Agraria/Kepala BPN No.460-1594 tanggal 5 Juni 1996 secara implisit mengandung makna bahwa sawah yang sudah dikeringkan seolah-olah dapat dikonversikan ke penggunaan di luar pertanian.

Pengendalian konversi lahan dengan peraturan-peraturan yang bersifat larangan akan sulit dijamin efektivitasnya selama tidak didukung dengan sistem pengawasan yang ketat dan penegakan hukum yang berlaku. Padahal sudah menjadi pendapat umum bahwa penegakan supremasi hukum di Indonesia masih sangat lemah akibat berbagai faktor. Untuk mengoptimalkan pengendalian konversi lahan pertanian maka diperlukan perubahan pendekatan, yaitu dari pelarangan juridis menjadi akomodasi kompensatif dan pengendalian sosio – ekonomi – yuridis.

Dengan pendekatan akomodasi kompensatif, proses alih fungsi lahan dapat diterima sebagai kenyataan yang tak terhindarkan namun dampak negatifnya dinetralisir dengan membuka lahan pertanian baru dan atau merehabilitasi lahan pertanian yang ada, cukup luas dan produktif sehingga setidaknya dapat mengkompensasi penurunan kapasitas produksi akibat konversi lahan pertanian tersebut. Pendekatan ini dapat diimplementasikan antara lain dengan Program Rehabilitasi dan Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Pertanian dan Program Perluasan Areal Pertanian.

Program Rehabilitasi dan Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Pertanian dapat dilaksanakan melalui: (a) upaya rehabilitasi dan pembangunan sistem irigasi; (b) upaya optimalisasi pemanfaatan “lahan tidur” dan “lahan terlantar”, dan (c) upaya pencetakan sawah baru. Selain melalui upaya pembangunan fisik, program ini hanya dapat berhasil bila ditunjang dengan kebijakan insentif usaha tani, fasilitasi pembiayaan dan penataan kelembagaan kepemilikan lahan. Program ini dapat dikategorikan program jangka pendek.

Sesuai dengan lingkup mandatnya, saat ini Departemen Pertanian sedang mempersiapkan rancangan upaya optimalisasi pemanfaatan lahan tidur dan lahan terlantar. Sementara itu, upaya rehabilitasi dan pembangunan sistem irigasi serta upaya pencetakan lahan sawah baru dapat terus dilaksanakan oleh Departemen Kimpraswil berkoordinasi dengan Departemen Pertanian maupun instansi terkait lainnya. Fasilitasi kebijakan insentif dan pembiayaan perlu didukung oleh Departemen Keuangan, Departemen Perindustrian dan Perdagangan dalam koordinasi Menko Ekonomi, sementara penataan kelembagaan kepemilikan lahan merupakan porsi BPN.

Program perluasan areal pertanian merupakan kebutuhan mendesak untuk meningkatkan kapasitas produksi pertanian dan sekaligus meningkatkan rata-rata luas pemilikan lahan pertanian. Pada masa lalu, peran pemerintah dalam program ini terutama disalurkan melalui program transmigrasi. Sejak tahun 1997, program transmigrasi mengalami hambatan, yang jelas berdampak pada perlambatan perluasan areal lahan pertanian. Revitalisasi program perluasan areal pertanian merupakan program jangka menengah-panjang yang perlu dirancang saat ini juga.

Pengendalian konversi lahan pertanian melalui pendekatan sosio-ekonomi-juridis dimaksudkan untuk memperlambat dan mengarahkan proses alih fungsi lahan pertanian, sehingga dampak negatifnya dapat ditekan atau diakomodir, melalui penetapan peraturan dan perundang-undangan yang disusun berdasarkan prinsip sosial-ekonomi sehingga dapat diimplementasikan secara efektif dan efisien, yaitu:

(a)  Penataan struktur pajak dan iuran pembangunan berbasis lahan

(b)  Penyusunan rencana dan pengawasan implementasi tata ruang wilayah

(c) Penataan sistem kepemilikan lahan.

v     Pertanian Padi di Tengah Pembangunan Kota (Ketintang Madya, Surabaya Selatan)

Gambar 1, Daerah Pertanian Di Ketintang Madya Surabaya Selatan (Sumber: Google earth)

Ketintang Madya merupakan salah satu daerah di Surabaya yang masih ada area pertaniannya meskipun sempit. Lahan pertanian di daerah ini pada awalnya masih luas, namun karena pertumbuhan penduduk yang semakin cepat lahan pertanian berubah fungsi menjadi lahan permukiman. Pada awal tahun 2002, di daerah ini belum banyak terdapat area permukiman. Namun dari tahun ke tahun jumlah penduduk di Surabaya mengalami peningkatan maka lahan yang awalnya berupa lahan pertanian berubah menjadi perumahan warga.

Gambar 2, Lahan pertanian yang dikelilingi bangunan perumahan

Keadaan tanah di Surabaya sesungguhnya subur karena awalnya merupakan daerah delta. Akan tetapi karena banyak terjadi pencemaran lingkungan, maka tanahnya mengalami penurunan kandungan unsur hara Relief tanahnya juga datar dan halus sehingga mudah dalam pengelolaannya. Namun di sekeliling daerah ini bukan lagi berupa daerah persawahan tetapi sudah berubah menjadi pemukiman warga.

Gambar 3, Lahan persawahan yang semakin sempit karena adanya bangunan perumahan

Sedangkan pengairan sawah di Ketintang Madya ini berasal dari aliran anak sungai yang berasal dari Kali Surabaya. Faktor klimatologis juga sangat berpengaruh dalam kegiatan pertanian di daerah tersebut. Suhu yang tinggi, curah hujan rendah dan penyinaran matahari yang terus menerus menyebabkan pertanian di daerah ini produksinya kurang memuaskan. Keadaan yang demikian menyebabkan daerah ini hanya dapat melakukan kegiatan bercocok tanam sekali dalam setahun sehingga produksi padi juga rendah.

Gambar 4, Musim tanam, sehingga perairan cukup

 

Tinggalkan komentar